Keperawanan sifatnya sangat personal dan bukan isu moralitas.
Jika ingin bicara moralitas, yang perlu dipersoalkan adalah
moralitas publik yang menyangkut kepentingan masyarakat.
Korupsi contoh paling nyatanya. Wacana tes keperawanan jadi
perdebatan.
"Keperawanan seharusnya tidak boleh menjadi isu, apalagi
dikaitkan moralitas dan politisasi tubuh perempuan," papar Neng
Dara Affiah, Komisioner Komnas Perempuan, saat dihubungi
untuk merespons wacana tes keperawanan yang berkembang di DPRD Jambi.
Persoalan keperawanan yang masih saja dibincangkan, bahkan menjadi isu, adalah
cermin masyarakat yang konservatif dan berwajah patriarki, jelas Neng Dara. Tubuh
perempuan dipersoalkan dengan dalih keperawanan. Bahkan menjadi politisasi tubuh
dan organ reproduksi perempuan, ketika isu ini digulirkan untuk kepentingan
kekuasaan.
Neng Dara menilai, isu tes keperawanan yang dikemukakan anggota DPRD Provinsi
Jambi adalah bentuk politisasi tubuh perempuan. Dikatakan politisasi karena ada
kecenderungan mencari perhatian masyarakat, terutama masyarakat pemilih untuk
kepentingan kekuasaan.
"Harapannya isu yang digulirkan ini memperoleh dukungan, meskipun sangat
merugikan perempuan," jelasnya.
Seseorang dalam kondisi perawan atau tidak adalah area privat. Status perawan juga
tak menjamin baik-buruknya perilaku.
"Tidak ada jaminan seorang yang tidak perawan memiliki perilaku buruk. Seorang
yang perawan juga tidak menjamin perilakunya tidak buruk," katanya, sambil
menambahkan bahwa kita tidak bisa menghakimi seseorang karena ia perawan atau
tidak.
Hanya akan menimbulkan trauma berkepanjangan
Psikolog klinis Lita Gading juga mempertanyakan urgensi tes keperawanan yang
menjadi wacana kontroversial ini.
"Kenapa harus memikirkan hal pribadi dan internal rumah tangga semacam ini?
Seharusnya hal ini tak usah dipikirkan. Isu moralitas yang lebih merusak bangsa
seperti korupsi yang seharusnya dipermasalahkan," kata Lita.
Menurut Lita, tes keperawanan seperti ini justru menimbulkan trauma baru jika benar
akan diterapkan kepada anak usia sekolah.
Ini masalah stigmatis, katanya, bahwa keperawanan berhubungan dengan aktivitas
seksual. Padahal, keperawanan bukan hanya terkait seks. Kecelakaan saat berolahraga
bisa saja menyebabkan selaput dara robek, jelas Lita.
Wacana tes keperawanan ini lebih banyak mengarah kepada hal negatif, kata Lita. Jiwa
anak akan tergoncang dan malu dalam jangka panjang, jika ternyata hasil tes
menunjukkan ia tak lagi perawan. Kepercayaan dirinya akan runtuh dalam waktu
lama. Remaja kemudian bisa mengalami traumatis mendalam.
"Lagipula tak mudah melakukan tes keperawanan. Seksolog yang lebih ahli
memeriksanya," kata Lita, menilai wacana ini terlalu mengada-ada.
Usulan tes keperawanan sebenarnya berniat baik. Agar remaja lebih mawas diri, tidak
bergaul bebas, berhati-hati melakukan aktivitas yang membahayakan keperawanan.
Namun masih lebih banyak pengaruhnya negatifnya, tegas Lita.
Jika cara ini dipilih untuk mengontrol perilaku remaja, orangtua menunjukkan
kegoisan dirinya.
"Ini hanya akan menjadi pembenaran orangtua supaya tidak disalahkan. Padahal
tanggung jawab mendidik anak ada pada orangtua dan guru. Orangtua dengan
pembenaran seperti ini adalah orangtua yang malas, dengan alasan bekerja, tak
punya waktu melakukan pendekatan dengan anaknya," kritik Lita.
Jika maksud di balik ini adalah untuk mengawasi perilaku remaja, seharusnya
orangtua mau lebih menyelami dunia anak remaja.
"Orangtua jangan merasa selalu benar dan menang. Orangtua jangan diktator.
Cobalah untuk menganggap dari sisi terbalik. Bagaimana seandainya jika menjadi
remaja dalam era kekinian. Jangan hidup di jamannya orangtua," tegas Lita.
Isu keperawanan memang sudah tak layak digulirkan. Karenanya penolakan yang
lebih kuat dari kaum perempuan perlu dilakukan. Dengan melihat isu keperawanan
bukan sebagai isu moralitas, kata Neng Dara.
"Perempuan harus lebih bersuara soal ini," tandasnya. (kompas)
0 Komentar